Dapatkan $ Gratis di sini!

Senin, 27 Juli 2009

Tasawuf Falsafi ; Ibn Araby & Konsep Wahdatul Wujud

PENDAHULUAN


Ibn Arby adalah salah seorang tokoh tasawuf falsafi karena diketahui bahwa beliau adalah seorang yang telah memfilsafatkan pengalaman beragamanya atau spritualnya ke dalam suatu pandangan dunia tasawuf sebagaiman dalam konsepnya “Wihdatul wujud dan Tajally”.

Ajaran ini dapat dikatakan perluasan dari paham hulul yang di bawa oleh al-halaj. Wahdatul wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby menyatakan, bahwa alam ini diciptakan tuhan dari ‘ain wujud-Nya― esensi-Nya― sehingga setiap makhluk dalam segala jenisnya dan terutama manusia, tidak terlepas dari aspek khalaq (makhluk) dan aspek al-Haqq (Tuhan) yang terkadang ia sebut aspek lahir dan aspek bathin. Dalam hal ini aspek terpenting adalah aspek al-Haqq karena merupakan esensi dari segala yang ada, sedang aspek al-khalaq merupakan substansi atau sesuatu yang datang kemudian. Dengan demikian, sekalipun alam ini nampaknya aneka namun pada hakikatnya esensinya sama dengan al-Haqq secara trasedental, bukan imanensi.


PEMBAHASAN

A. Biografi Spiritual Ibn Araby

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali Bin Muhammad Muhyi Aldin Ibn Araby al-Thai al-Hatimi, lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H/27 Juli 1165 M di Mursia[1], Andalusia (Spayol) bagian tenggara, dan wafat di Damaskus dalam usia 78 tahun tanggal 22 Rabi al-tsani 638 H/ November 1240 M.

Ibn Araby berasal dari suku al-Thai, satu rumpun Arab al-Hatimi yang pada umumnya terdiri dari keluarga-keluarga shaleh. Ayahnya adalah seorang sufi yang mempunyai kebiasaan berkelana.

Pada usia delapan tahun, Ibn Araby sudah merantau ke Lisabon untuk menimba ilmu agama, kemudian ia pindah ke Sevilla dan menetap selama tiga puluh tahun. Ketika di Sevilla Ibn Araby menikahi seorang gadis bernama Mariam. Dari Sevilla ia sering berkunjung ke Kordova dengan tujuan utama menimba ilimu, kunjungan ini biasanya ia lanjutkan ke wilayah Tunisia dan Maroko.[2] Selama pada masa ini pula kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif mempercepat pembentukan Ibn Araby sebagai tokoh Sufis yang terpelajar dan dalam usia yang relatif muda. Dengan kecerdasan yang luar biasa dan wawasan spiritualnya yang luas menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisme dan filsafat dalam kesadaran metafisme Ibn Araby. Ibn Araby adalah seorang sufi sekaligus filosof, sehingga dapat mefilsafatkan pengalaman spiritualnya kedalam suatu pandangan dunia tasawuf sebagaimana dalam konsepnya “wahdahtul wujud”. Ibn Araby diberi gelar Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Syaikh terbesar).

Pada tahun 1201 M/ 598 H Ibn Araby meninggalkan Spanyol kemudian berangkat ke kawasan timur dengan tujuan utama untuk ibadah haji. Mekkah baginya adalah tempat meningkatkan kualitas kehidupan mistiknya. Di mekkah sekitar tiga tahun, Ibn Araby menggunakan waktunya lebih banyak untuk mempetajam ruhani dan menulis. Kunjungannya ke Ka’bah secara teratur untuk beribadah dan bermeditasi membuahkan pengalaman-pengalaman spiritual. Di tanah suci inilah Ibn Araby mendapat ilham untuk menulis karya fenomenal, yaitu al-Futuhat al-Makiyah, di samping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, Ibn Araby kembali mengembara ke berbagai kota di kawasan timur, pengembaraannya berakhir di kota Damaskus dan sekaligus sebagai tempat menetapnya sampai beliau wafat. Selama di Damaskus Ibn Araby mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis dan mengajar. Ibn Araby menyelesaikan kitab monumentalnya, al-Futuhat al-Makiyyah, dan menulis kitab lain yang terkenal; Fushush al-Hikam, di samping kitab-kitab yang lain. Ibn Araby dimakamkan di kaki gunung Qasiyun di bagian utara kota Damaskus.

Semasa hidupnya Ibn Araby dikenal sebagai seorang tokoh sufi dan filsafat agama yang produktif dalam karya-karyanya, yang berhasil mencapai perkembangan puncak tasawaufnya dengan merekonstruksikan pendekata tasawuf dengan filsafat dalam mengkaji masalah wujud, yang kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan utuh dalam ajaran wahdatul wujud.

Selain sebagai sufi, Ibn Araby sebagaimana telah dikenal sebagai penulis yang produktif dengan jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai ± 400 judul buku. Telah dibahas bahwa karya monumentalnya al-Futuhat al-Makiyah adalah sebuah karya ensiklopedis besar tentang tasawuf yang tediri atas 560 bab, di terbitkan oleh al- Haiat al- Mishriyyat al-Ammat li al-kitab, kairo, tahun 1392 H/1972 M, dalam empat jilid buku besar. Begirtu pula Fushush al-Hikam, karya ini merupakan kitab yang relative pendek tetapi paling banyka dikkaji dan diberi syarah, karena paling sulit dipahami diantara karyanya sehingga menjadi yang paling berpengaruh dan paling masyhur, karya ini menyajikan rumusan-rumusan final dari pendirian tasawufnya tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushush al-Hikam tersebut.[3] Di samping kedua kitab tersebut, karya-karya yang lain diantaranya Turjuman al-Asywaq, Dzakhair al-Alaq, al-Diwan al-Akbar, Anqa Mughrib dan lain-lain.

B. Konsep wahdatul wujud dan tajjaly Ibn Araby

Doktrin wahdat al-Wujud biasanya dihubungkan dengan Ibn Araby karena tokoh ini dianggap sebagai pendirinya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika selama ini anggapan yang lebih umum berlaku mengenai istilah ini berasal dari atau diciptakan oleh IbnAraby. Beliau sendiri tidak pernah menggunakan istilah wahdat al-Wujud, akan tetapi beliau dianggap sebagai pendiri doktrin wahdat al-Wujud karena ajaran-ajarannya mengandung ide tersebut.[4] Orang-orang di Barat sering memberi lebel pada paham ini sama dengan lebel “Panteisme”.

Paham ini sebagai perluasan dari konsepsi (paham) al-hulul yang dibawa oleh al-Halaj adalah karena nasut yang ada dalam hulul ia ganti dengan al-khalq (makhluk), sedangkan lahut menjadi al-Haqq (Tuhan).[5] Aspek al-Khalq memiliki sifat kemakhlukan, sedangkan aspek luar memiliki sifat ke-Tuhanan (Lahut). Tiap-tiap yang bergerak tidak terlepas dari kedua aspek itu yaitu sifat ke-Tuhanan dan sifat kemanusiaan. Tetapi aspek terpenting adalah aspek bathin atau aspek al-Haqq dan aspek ini merupakan esensi dari tiap-tiap wujud.

Adapun idenya mengenai wahdat al-Wujud adalah bahwa “semua wujud satu dalam relitas, tiada suatupun bersama dengannya”. Wujud bukan lain dari al-Haq karena tiada sesuatu pun dalam wujud selain Dia. Tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali al-Haqq, karena wujud adalah al-Haqq dan Dia adalah satu.[6]

Ibn Araby tidak hanya menekankan mengenai ke-Esaan wujud, tetapi juga menekankan keanekaan realitas mengenai realitas yang membedakan antara realitas mutlak (Ultimate reality) dan realitas terbatas. Anamun, secara esensial keduanya merupkan satu kesatuan.

Tuhan dalam pandangan Ibn Araby tidak hanya dipandang sebagai Tuhan yang satu, melainkan juga merupakan hakikat dari segala yang ada dan sumber dari segala yang maujud. Segala yang ada ini bersifat baru (hadits) binasa (fana) dan semuanya akan kembali kepada-Nya, tidak ada wujud yang abadi kecuali ‘ain (esensi) dari segala yang ada hal itu dinyatakan oleh IbnAraby dalam satu ungkapan :

ﺴﺒﺤﺎﻦ ﻤﻦ ﺨﻠﻖ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻮﻫﻮ ﻋﻴﻨﻬﺎ

“Maha suci Allah yang telah menjadikan segala sesuatu sedangkan Dia adalah hakikatnya”

Menurut Ibn Araby alam ini diciptakan Allah dari ‘ain wujudnya sehingga apabila Tuhan ingin melihat diri-Nya maka Tuhan cukup melihat alam ini. Di sinilah timbul paham kesatuan wujud (wahdat al-Wujud) dengan pengertian, bahwa alam yang nampak dengan indera yang penuh variasi ini, sebenarnya adalah satu.[7] Ibn Araby berkata lewat syair dalam al-Futuhat vol I hal. 604 yang berbunyi :

ﻴﺎ ﺨﻠﻖﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻔﻰ ﻨﻔﺴﻪ - ﺍﻨﺖ ﻠﻤﺎ ﺘﺨﻠﻗﻪ ﺠﺎﻤﻊ - ﺘﺨﻠﻖ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻨﺘﻫﻰ ﻜﻮﻨﻪ - ﻔﻴﻚ ﻔﺄﻨﺖ ﺍﻠﻀﻴﻖ ﺍﻠﻮﺍﺴﻊ

Wahai pencipta segala sesuatu dalam diri-Mu, pada-Mu terhimpun segala yang Engkau jadikan, Engkau ciptakan apa yang ada dengan yang tak terbatas dalam diri-Mu sebab Engkau adalah yang unik tetapi meliputi seluruhnya.

Pada bagian lain dari kitabnya itu, Ibn Araby mengatakan bahwa wujud alam ini adalah ‘ain wujud Allah. Allah itu adalah hakikat alam. Tidak ada di sana perbedaan di antara wujud yang qadim yang di sebut Khaliq dan wujud yang baru yang disebut makhluk.[8] Perbedaan itu hanya rupa dan ragam, sedangkan esensi dan hakikatnya sama. Pada bagian syairnya yang lain, Ibn Arby mengatakan,

ﺍﻠﻌﺒﺪ ﺮﺐ ﻮﺮﺐ ﻋﺑﺪ ﻴﺎ ﻠﻴﺖ ﺸﺮﻯ ﻤﻦ ﺍﻠﻤﻜﻠﻑ ﺍﻦ ﻗﻠﺖ ﻋﺒﺪ ﻔﺫﺍﻚ ﺭﺐ ﺍﻮﻗﻠﺖ ﺭﺐ ﺍﻨﻰ ﻴﻜﻠﻑ

Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba, Demi syu’urku, siapakah yang mukallaf, Kalau engkau katakan Hamba padahal dia Tuhan Atau engkau kata Tuhan, yang mana yang diperintah?

Dalam pandanga Ibn Arby, tidak ada perbedaan antara Yang Satu dengan yang aneka atau antara Khaliq dan makhluk. Kalau pandanan mata nampak ada perbedaan, hal itu hanyalah seseorang itu tidak mampu melihat dengan mata hatinya sehingga ia tidak dapat melihat hakikat. Kemampuan memandang tembus apa yang ada di balik benda lahiriah, hanya dimiliki oleh orang ‘arif dan mereka itu selalu berucap: “Maha Suci Allah yang menciptakan segala sesuatu dari dzatnya, sehingga apabila kami melihat-Nya berarti kami melihat diri kami, dan apabila kami melihat diri kami maka kami juga melihat Dirinya”.

Konsep lain yang erat kaitannya dengan wahdat al-Wujud adalah konsep tajally Ibn Araby. Sedangkan kata tajally merupakan istilah tasawuf yang berarti penampakan diri Tuhan yang bersifat absolute dalam wujud alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla yang artinya “menyatakan diri”.

Konsep tajally beranjak dari pandangan bahwa Allah dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, karena itu dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian alam ini merupakan cermin bagi Allah Allah SWT ketika Allah ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan yakni dengan merujuk pada hadits Qudsi Kanzun makhfiyyah (Harta karun yang tersembunyi), bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui maka Ia pun menapakkan diri-Nya dalam bentuk tajally. Ini merupakan arti dan rahasia penciptaan alam dalam tasawuf falsafi Ibn Arby.[9]

Menurut Ibn Araby zat Tuhan yang Mujarrad dan transcendental itu bertajally dalam empat martabat yaitu

§ Martabat Ahadiyah

§ Martabat Wahdah

§ Martabat Wahidiyah

§ Martabat Ta’ayun ruhi dan Ta’ayun jasadi

Menurut Ibn Araby bahwa Tuhan sebagai penghulu dan manusia sebagai hamba. Tuhan kaya dalam segala hal, sedangkan manusia ada kekurangannya melalui bahasanya sendiri Ibn Araby mengatakan:[10]


“kalau bukan karena-Nya atau karena “kita” niscaya tidak akan terjadi segala yang ada, saya menyembah yang al-Haqq dan “saya”. Allah adalah penghulu kita dan seesensi dengan-Nya, dan ketahuilah bahwa manusia adalah seesensi dengan-Nya.”[11]

Untuk dapat mengetahui perbedaan dan persamaan antara al-Haqq dan al-Khalq tidak dapat dilihat dengan mata dan atau diserap oleh rasio, tetapi harus melalui al-Hubb al-Ilahi yang dikembangkan melalui amal, taqwa dan suluk sehingga mencapai ma’rifat melalui kasyf. Kata Ibn Araby:


Kemampuan agar dapat mengetahui dan merasakan tajallinya Tuhan karena Ibn Araby telah sampai pada tingkat Kasyf. Kemampuan ini menurut Ibn Araby tidak memerlukan bimbingan orang lain dapat langsung dari Tuhan seperti halnya para Nabi dan Rasul yang mendapat ilmu itu melalui malaikat, tetapi sufi dan aulia memperolehnya karena kasyf al-Hijab.

C. Ajaran Yang Kompetebel Dengan Kekinian

Dengan demikian bahwa dalam pemikiran Ibn Araby dalam konsep Wahdat Al-Wujud dan tajalli kita dapat mengambil ajaran yang sesuai yaitu logika penyatuan wujud (wahdat al-wujud) dan penampakkan diri (tajalli), menurut Ibn Araby, akan menghilangkan esensi agama apapun yang diturunkan, dan akan menghilangkan tanda-tanda ke-Tuhanan yang diketahui oleh orang awam. Namun, bukan hal seperti itu yang sebenarnya Ibn Araby bangun. Akan tetapi sebenarnya ajaran yang paling tepat untuk kita ambil sesuai dengan kekinian adalah agar kita dapat menganal Allah lebih dalam lagi dengan melihat segala ciptaan Allah yang ada di ala mini dengan penglihatan dalam renungan dan menyadari betapa Maha Besar Allah yang telah mencipykan segala sesuatunya dengan sempurna, karena itu melalui alam manusia dapat mengenal Allah sebagai Sang Pencipta.

Oleh karena itu pula, apabila seseorang ingin mengenal Tuhannya mulailah dengan mengenal dirinya sendiri sebab diri manusia dan alam adalah cara bagaimana kita dapat mengenal Allah Swt.




KESIMPULAN

Ibn Arby adalah salah satu tokoh tasawuf falsafi yang telah mencapai puncak perkembangan tasawufnya pada konsep “Wahdatul Wujud dan Tajally” yang merupakan sebuah konsep kesatuan wujud antara makhluk dan al-Haqq. Dimana tiap-tiap yang berwujud terdapat sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan.

Ajaran yang terpenting dalam pemikiran Ibn Arby yang terpenting adalah aspek al-Haqq yang merupakan esensi dari tiap-tiap wujud.

Untuk dapat menyelami tajally Tuhan dalam alam ini seorang mesti memiliki kemampuan untuk itu dan semua itu diperoleh dari Allah tanpa melalui perantara. Proses penampakan diri Tuhan diuraikan oleh Ibn Arby dalam empat martabat yaitu : Martabat Ahadiyah, Martabat Wahdah, Martabat Wahidiyah, dan Martabat Ta’ayun ruhi dan Ta’ayun jasadi.


[1] Ibn Araby, Futuhat al-Makiyah: Vol I, al-Arabiyah, Kairo, 1979, Hal:199

[2] Ibn Araby, Futuhat al-Makiyyah…., Hal.200

[3] Kautsar Azhari, Ibn al-Araby: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995, Hal 25.

[4] Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Araby: Dalam Perdebatan Wahdat Al-Wujud, Hal. 34-35

[5] A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. II, Hal. 183.

[6] Kautsar Azhari Noer,….. Hal.35

[7] Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme ,,Hal, 184

[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm 254

[9] M. Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syekh Hamzah Fansuri, Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004, hal.96

[10] Rivay Siregar, hal, 190

[11] Ibn Araby, Fushush al-Hikam, Hal, 19

Tidak ada komentar: