BAB I
PENDAHULUAN
Mengganti organ tubuh yang sakit atau rusak sama sekali bukanlah inovasi abad modern. Dalam sebuah literature hadis juga dituturkan peristiwa ‘Ufrajah, seorang sahabat Nabi saw.kehilangan hidung ketika berperang dan diganti dengan hidung palsu seperti perak. Hidungn buatannya itu kemudian menimbulkan bau yang tidak sedap, sehingga ia meminta nasihat Nabi saw.kemudian Nabi menganjurkan untuk segera mengganti hidung perak itu dengan bahan emas.[1] Namun, transplantasi suatu organ tubuh dari spesies yang sama belum pernah terjadi sampai pada tahun 1913, yaitu ketika Dr. Alexis Carrel, seorang ahli bedah dari Prancis, berhasil melakukan transplantasi ginjal seekor kucing pada kucing lain. Sampai pada akhirnya, Prof. Christiaan N. Barnard beserta tim ahli bedahnya dari Afrika Selatan pada tanggal 3 Desember 1967 berhasil melakukan pemindahan jantung dari seorang wanita berusia 24 tahun untuk seseorang berusia 54 tahun.
Sedangkan tranpusi darah pertama kali dilakukan oleh Dr. James Blundell pada tahun 1818 dari RS. St. Thomas and Guy. Ia berhasil melakukan transfuse darah dari manusia ke manusia setelah ia berhasil menemukan alat transpusi darah secara langsung.
Begitulah singkatnya sejarah mengenai transplantasi organ tubuh dan transpusi darah. Dan sampai sekarang masih dilakukan di dunia kedokteran di berbagai penjuru dunia.
Terlepas dari sejarah singkat transplantasi (pencangkokan)organ tubuh dan transpusi darah, maka pada kali ini pembahasan makalah mata kuliah “Masail Fiqhiyah” ini adalah mengenai permasalahan hukum pencangkokan jantung, ginjal, mata, transpusi darah dan bedah mayat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TRANSPLANTASI (PENCANGKOKAN) JANTUNG, GINJAL, MATA
Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik.
Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah : mata, ginjal, dan jantung, karena ketiga organ tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia, terutama sekali ginjal dan jantung.
Orang yang menderita penyakit mata, ginjal, dan jantung, tentu mengharapkan uluran tangan dari para donor, yaitu donor mata, ginjal, dan jantung.. Para donor yang kita kenal sekarang ini, lebih banyak dari kalangan orang yang sudah meninggal dunia dan tidak banyak dari orang yang masih hidup.
Hukum Pencangkokan Jantung, Ginjal, Mata
Masalah pencangkokan jantung biasanya dilakukan pada oaring dewasa, yang pada umumnya sudah berumur 40-50 tahun. Yaitu penderita yang pernah terserang demam rematik atau penyakit khas lainnya, yang berakibat terjadinya penyakit jantung.
Pada dasarnya, agama Islam membolehkan pencangkokan jantung pada pasien sebagai salah satu upaya pengobatan penyakit, yang sebenarnya dianjurkan dalam Islam.
Masalah donor mata, terjadi dua pendapat di kalangan fuqaha. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkannya dengan mengemukakan alasan masing-masing; seperti:
1) Bagi ulama yang mengharamkannya; mendasarkan pendapatnya pada hadist yang Artinya: “Sesungguhnya pecahnya tulang mayat (bila dikoyak-koyak), seperti (sakitnya dirasakan mayat) ketika pecah tulangnya di waktu ia masih hidup.” H.R. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah yang bersumber dari Aisyah.
2) Bagi ulama yang membolehkannya; mendasarkan pendapatnya pada hajat (kebutuhan) orang yang buta untuk melihat. Maka perlu ditolong agar dapat terhindardari kesulitan yang dialaminya, dengan cara donor mata dari mayat. Berdasarkan pada qaidah fiqhiyah yang berbunyi:
Artinya: “Kesulitan (yang dialami manusia), boleh diupayakan untuk mendapatkan kemudahan.”
Dan ayat al-Qur’an memberikan petunjuk umum yang terdapat pada ayat yang artinya berbunyi: “…………….dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan suatu kesulitan untuk kamu dalam agama….” (Q.S. al-Hajj :78)
Sedangkan masalah pencangkokan ginjal, apabila yang bersumber dari manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, disepakati oleh kebanyakan ulama hukum Islam tentang kebolehannya bila dicangkokan kepada pasien yang membutuhkannya, karena dianggap sangat dibutuhkan dan bahkan darurat. Kedua alasan inilah yang membolehkannya, sebagaimana qaidah fiqhiyah diatas. Namun, ulama hukum Islam masih memperdebatkan mengenai ginjal yang diambil dari binatang (babi).[2]
Secara prinsip syariah secara global, mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ ataupun jaringan. Dalam simposium Nasional II mengenai masalah “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok agama di Indonesia. Bolehnya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.).[3]
Lebih rinci, masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu : Pertama : Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama. Kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain.
Masalah pertama yaitu seperti praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab.
Adapun masalah kedua yaitu penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain maka dapat kita lihat persoalannya apabila jaringan/organ tersebut diambil dari orang lain yang masih hidup, maka dapat kita temukan dua kasus.
Kasus Pertama : Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah:195, An-Nisa’:29, dan Al-Maidah:2 tentang larangan menyiksa ataupun membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam pelanggaran.
Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratannya yaitu:
1. Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding.
2. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan.
3. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat.
4. Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar.
Dalam buku “Fatwa-fatwa Kotemporer” Dr. Yusuf Qharhawi mengatakan “adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.”
B. TRANSPUSI DARAH
Transfusi darah adalah penginjeksian darah dari seseorang (donor) ke dalam system peredaran darah seseorang yang lain (resipien).
Menurut Dr. Rustam Masri, transfusi darah adalah proses pekerjaan pemindahan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit, yang bertujuan untuk:
Menambah jumlah darah yang beredar dalam badan orang yang sakit yang darahnya berkurang karena sesuatu sebab, misalnya pendarahan, operasi, kecelakaan dan sebab lainnya. Menambah kemampuan darah dalam badan si sakit untuk menambah/membawa zat asam.
Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya mengenai agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah: “dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32).
Hubungan Antara Donor Dengan Resipien (Penerima)
Transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Karena itu, jika si donor dan resipien ingin mengadakan hubungan perkawinan, maka tidak ada larangan dalam agama Islam. Sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.
Hendaknya diingat, bahwa bila tidak hati-hati dalam penanganan transfusi darah ini, maka akan ada resiko bagi resipien. Sebab itu secara medis harus diperhatikan pengaruhnya, misalnya setiap donor harus terhindar dan bebas dari segala macam penyakit yang dapat mengganggu kesehatan resipien.
Hukum Transpusi Darah
Agama Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan komersial. Darah itu dapat disumbangkan secara langsung kepada yang memerlukannya. Para resipien hendaknya tidak usah mempertanyakan tentang donor, apakah seagama dengan dia atau tidak. Demikian juga sebaliknya si donor pun tidak usah mempersoalkan tentang penggunaan darah tersebut.
Sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah ini, dapat dilihat dalam kaidah hukum Islam berikut:
Bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh(mubah), kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berdasarkan kaidah diatas, maka hukum donor darah itu diperbolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik Al-Qur'an maupun hadits. Namun demikian tidak berarti, bahwa kebolehan itu dapat dilakukan tanpa syarat, bebas lepas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan, tetapi karena ada hal-hal yang dapat membahayakan resipien, maka akhirnya menjadi terlarang. maka berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.
Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu lintas atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal. Dan Kaedah “La Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain). Kaidah terakhir ini berasal dari hadits riwayat Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit.
C. BEDAH MAYAT
Bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat, karena ada suatu maksud atau kepentingan tertentu. Bedah mayat tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, walaupun hanya sekedar mengambil barang dari tubuh (perut) mayat. Sebab, manusia harus dihargai kendatipun ia sudah menjadi mayat.
Diantara tujuan yang terpenting bedah mayat adalah :
- Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat.
- Untuk mengeluarkan benda yang berharga dari tubuh mayat.
- Untuk kepentingan penegakkan hukum.
- Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran.
Hukum Bedah Mayat
Tujuan bedah mayat yang telah dikemukakan diatas, perlu dikaitkan dengan hukum Islam, agar orang yang melaksanakannya tidak merasa ragu-ragu dan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
- Menyelamatkan janin
Seorang wanita hamil, yang meninggal dunia, tidak boleh dikuburkan sebelum jelas betul atau sebelum terbukti, bahwa bayi yang dikandungnya itu juga meninggal, berdasarkan keterangan bidan atau dokter ahli. Hal ini dilakukan terhadap janin yang sudah berumur tujuh bulan atau lebih.
Dalam hal ini, Islam membolehkan membedah mayat yang didalam rahimnya terdapat janin yang masih hidup.
- Mengeluarkan benda yang berharga dari perut mayat
Bedah mayat wajib hukumnya apabila dalam perutnya ada batu permata (barang berharga) milik orang lain.
- Menegakkan kepentingan hukum
Peralatan modern kadang-kadang sulit juga membuktikan sebab-sebab kematian seseorang dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Kesulitan tersebut, cukup menjadi alas an untuk membolehkan membedah mayat sebagai bahan penyelidikan,
Karena sangat diperlukan dalam penegakkan hukum, dan sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
Tidak haram bila darurat dan tidak makruh karena hajat
- Memperhatikan kepentingan pendidikan dan keilmuan
Diantara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya kelak.
Sekiranya mayat itu diperlukan sebagai sarana penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran, maka menurut hukum islam, hal ini dibolehkan, karena pengembangan ilmu kedokteran bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia.
Sedangkan para ulama fiqh, berbeda pendapat mengenai hukum bedah mayat, sebagaimana terlihat pada uraian berikut:
- Imam Ahmad Bin Hambali
Seorang yang sedang hamil kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya tidak perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar bahwa janin itu masih hidup.
- Imam Syafi'i
Jika seorang hamil, kemudian dia meninggal dunia, dan ternyata janinnya masih hidup, maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya.
· Imam Malik
Seorang yang meninggal dunia, kemudian didalam perutnya ada barang yang berharga, maka mayat itu harus dibedah.
- Imam Hanafi
Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin itu.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum permasalahan cangkok jantung, ginjal, dan mata sesungguhnya diperbolehkan dalam Islam. Hanya saja asalkan tidak membahayakan bagi pendonor maupun bagi penerima. Karena ulama sepakat pada qaidah fiqh yang artinya berbunyi “Kesulitan (yang dialami manusia), boleh diupayakan untuk mendapatkan kemudahan”.
Masalah transpusi darah boleh saja tanpa mengenal batas bahwa mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim dan sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70). Maka sudah seharusnya manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya.
Sedangkan masalah hukum bedah mayat dibolehkan untuk beberapa kepentingan, salah satunya yaitu untuk menyelamatkan janin yang masih hidup namun Ibu yang mengandungnya sudah meninggal maka janin tersebut harus diselamatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. Fikih Kesehatan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Cet.ke-1. Agustus 2007
E:\semester_VI\link-2\Sejarah Transplantasi dan hukum donor jaringan tubuh menurut Islam « Manusia biasa.htm
Mahjuddin. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia. 2003
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kotemporer. Jakarta: Gema Insani Press
Zuhdi, Masyfuq. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Gunung Agung. 1987
[1] Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah,t.t), “Kitab al- Khatim, hadis no.4232, vol.2, hal.92.
[2]Drs. H.Mahjuddin, M.pd.I, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, cet.ke-7, hal.140
[3]E:\semester_VI\link-2\Sejarah Transplantasi dan hukum donor jaringan tubuh menurut islam « Manusia biasa.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar