Dapatkan $ Gratis di sini!

Senin, 27 Juli 2009

Masail Fiqhiyah : Transplantasi Organ, DLL

BAB I

PENDAHULUAN


Mengganti organ tubuh yang sakit atau rusak sama sekali bukanlah inovasi abad modern. Dalam sebuah literature hadis juga dituturkan peristiwa ‘Ufrajah, seorang sahabat Nabi saw.kehilangan hidung ketika berperang dan diganti dengan hidung palsu seperti perak. Hidungn buatannya itu kemudian menimbulkan bau yang tidak sedap, sehingga ia meminta nasihat Nabi saw.kemudian Nabi menganjurkan untuk segera mengganti hidung perak itu dengan bahan emas.[1] Namun, transplantasi suatu organ tubuh dari spesies yang sama belum pernah terjadi sampai pada tahun 1913, yaitu ketika Dr. Alexis Carrel, seorang ahli bedah dari Prancis, berhasil melakukan transplantasi ginjal seekor kucing pada kucing lain. Sampai pada akhirnya, Prof. Christiaan N. Barnard beserta tim ahli bedahnya dari Afrika Selatan pada tanggal 3 Desember 1967 berhasil melakukan pemindahan jantung dari seorang wanita berusia 24 tahun untuk seseorang berusia 54 tahun.

Sedangkan tranpusi darah pertama kali dilakukan oleh Dr. James Blundell pada tahun 1818 dari RS. St. Thomas and Guy. Ia berhasil melakukan transfuse darah dari manusia ke manusia setelah ia berhasil menemukan alat transpusi darah secara langsung.

Begitulah singkatnya sejarah mengenai transplantasi organ tubuh dan transpusi darah. Dan sampai sekarang masih dilakukan di dunia kedokteran di berbagai penjuru dunia.

Terlepas dari sejarah singkat transplantasi (pencangkokan)organ tubuh dan transpusi darah, maka pada kali ini pembahasan makalah mata kuliah “Masail Fiqhiyah” ini adalah mengenai permasalahan hukum pencangkokan jantung, ginjal, mata, transpusi darah dan bedah mayat.


BAB II

PEMBAHASAN

A. TRANSPLANTASI (PENCANGKOKAN) JANTUNG, GINJAL, MATA

Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik.

Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah : mata, ginjal, dan jantung, karena ketiga organ tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia, terutama sekali ginjal dan jantung.

Orang yang menderita penyakit mata, ginjal, dan jantung, tentu mengharapkan uluran tangan dari para donor, yaitu donor mata, ginjal, dan jantung.. Para donor yang kita kenal sekarang ini, lebih banyak dari kalangan orang yang sudah meninggal dunia dan tidak banyak dari orang yang masih hidup.

Hukum Pencangkokan Jantung, Ginjal, Mata

Masalah pencangkokan jantung biasanya dilakukan pada oaring dewasa, yang pada umumnya sudah berumur 40-50 tahun. Yaitu penderita yang pernah terserang demam rematik atau penyakit khas lainnya, yang berakibat terjadinya penyakit jantung.

Pada dasarnya, agama Islam membolehkan pencangkokan jantung pada pasien sebagai salah satu upaya pengobatan penyakit, yang sebenarnya dianjurkan dalam Islam.

Masalah donor mata, terjadi dua pendapat di kalangan fuqaha. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkannya dengan mengemukakan alasan masing-masing; seperti:

1) Bagi ulama yang mengharamkannya; mendasarkan pendapatnya pada hadist yang Artinya: “Sesungguhnya pecahnya tulang mayat (bila dikoyak-koyak), seperti (sakitnya dirasakan mayat) ketika pecah tulangnya di waktu ia masih hidup.” H.R. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah yang bersumber dari Aisyah.

2) Bagi ulama yang membolehkannya; mendasarkan pendapatnya pada hajat (kebutuhan) orang yang buta untuk melihat. Maka perlu ditolong agar dapat terhindardari kesulitan yang dialaminya, dengan cara donor mata dari mayat. Berdasarkan pada qaidah fiqhiyah yang berbunyi:

Artinya: “Kesulitan (yang dialami manusia), boleh diupayakan untuk mendapatkan kemudahan.”

Dan ayat al-Qur’an memberikan petunjuk umum yang terdapat pada ayat yang artinya berbunyi: “…………….dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan suatu kesulitan untuk kamu dalam agama….” (Q.S. al-Hajj :78)

Sedangkan masalah pencangkokan ginjal, apabila yang bersumber dari manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, disepakati oleh kebanyakan ulama hukum Islam tentang kebolehannya bila dicangkokan kepada pasien yang membutuhkannya, karena dianggap sangat dibutuhkan dan bahkan darurat. Kedua alasan inilah yang membolehkannya, sebagaimana qaidah fiqhiyah diatas. Namun, ulama hukum Islam masih memperdebatkan mengenai ginjal yang diambil dari binatang (babi).[2]

Secara prinsip syariah secara global, mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ ataupun jaringan. Dalam simposium Nasional II mengenai masalah “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok agama di Indonesia. Bolehnya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.).[3]

Lebih rinci, masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu : Pertama : Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama. Kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain.

Masalah pertama yaitu seperti praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab.

Adapun masalah kedua yaitu penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain maka dapat kita lihat persoalannya apabila jaringan/organ tersebut diambil dari orang lain yang masih hidup, maka dapat kita temukan dua kasus.

Kasus Pertama : Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah:195, An-Nisa’:29, dan Al-Maidah:2 tentang larangan menyiksa ataupun membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam pelanggaran.

Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratannya yaitu:

1. Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding.

2. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan.

3. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat.

4. Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar.

Dalam buku “Fatwa-fatwa Kotemporer” Dr. Yusuf Qharhawi mengatakan “adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.”

 

B. TRANSPUSI DARAH

Transfusi darah adalah penginjeksian darah dari seseorang (donor) ke dalam system peredaran darah seseorang yang lain (resipien).

Menurut Dr. Rustam Masri, transfusi darah adalah proses pekerjaan pemindahan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit, yang bertujuan untuk:

Menambah jumlah darah yang beredar dalam badan orang yang sakit yang darahnya berkurang karena sesuatu sebab, misalnya pendarahan, operasi, kecelakaan dan sebab lainnya. Menambah kemampuan darah dalam badan si sakit untuk menambah/membawa zat asam.

Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya mengenai agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah: “dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32).

Hubungan Antara Donor Dengan Resipien (Penerima)

Transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Karena itu, jika si donor dan resipien ingin mengadakan hubungan perkawinan, maka tidak ada larangan dalam agama Islam. Sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.

Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.

Hendaknya diingat, bahwa bila tidak hati-hati dalam penanganan transfusi darah ini, maka akan ada resiko bagi resipien. Sebab itu secara medis harus diperhatikan pengaruhnya, misalnya setiap donor harus terhindar dan bebas dari segala macam penyakit yang dapat mengganggu kesehatan resipien.

Hukum Transpusi Darah

Agama Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan komersial. Darah itu dapat disumbangkan secara langsung kepada yang memerlukannya. Para resipien hendaknya tidak usah mempertanyakan tentang donor, apakah seagama dengan dia atau tidak. Demikian juga sebaliknya si donor pun tidak usah mempersoalkan tentang penggunaan darah tersebut.

Sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah ini, dapat dilihat dalam kaidah hukum Islam berikut:

Bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh(mubah), kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Berdasarkan kaidah diatas, maka hukum donor darah itu diperbolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik Al-Qur'an maupun hadits. Namun demikian tidak berarti, bahwa kebolehan itu dapat dilakukan tanpa syarat, bebas lepas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan, tetapi karena ada hal-hal yang dapat membahayakan resipien, maka akhirnya menjadi terlarang. maka berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.

Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu lintas atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal. Dan Kaedah “La Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain). Kaidah terakhir ini berasal dari hadits riwayat Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit.

C. BEDAH MAYAT

Bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat, karena ada suatu maksud atau kepentingan tertentu. Bedah mayat tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, walaupun hanya sekedar mengambil barang dari tubuh (perut) mayat. Sebab, manusia harus dihargai kendatipun ia sudah menjadi mayat.

Diantara tujuan yang terpenting bedah mayat adalah :

  1. Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat.
  2. Untuk mengeluarkan benda yang berharga dari tubuh mayat.
  3. Untuk kepentingan penegakkan hukum.
  4. Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran.

Hukum Bedah Mayat

Tujuan bedah mayat yang telah dikemukakan diatas, perlu dikaitkan dengan hukum Islam, agar orang yang melaksanakannya tidak merasa ragu-ragu dan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

  1. Menyelamatkan janin

Seorang wanita hamil, yang meninggal dunia, tidak boleh dikuburkan sebelum jelas betul atau sebelum terbukti, bahwa bayi yang dikandungnya itu juga meninggal, berdasarkan keterangan bidan atau dokter ahli. Hal ini dilakukan terhadap janin yang sudah berumur tujuh bulan atau lebih.

Dalam hal ini, Islam membolehkan membedah mayat yang didalam rahimnya terdapat janin yang masih hidup.

  1. Mengeluarkan benda yang berharga dari perut mayat

Bedah mayat wajib hukumnya apabila dalam perutnya ada batu permata (barang berharga) milik orang lain.

  1. Menegakkan kepentingan hukum

Peralatan modern kadang-kadang sulit juga membuktikan sebab-sebab kematian seseorang dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Kesulitan tersebut, cukup menjadi alas an untuk membolehkan membedah mayat sebagai bahan penyelidikan,

Karena sangat diperlukan dalam penegakkan hukum, dan sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:

Tidak haram bila darurat dan tidak makruh karena hajat

  1. Memperhatikan kepentingan pendidikan dan keilmuan

Diantara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya kelak.

Sekiranya mayat itu diperlukan sebagai sarana penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran, maka menurut hukum islam, hal ini dibolehkan, karena pengembangan ilmu kedokteran bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia.

Sedangkan para ulama fiqh, berbeda pendapat mengenai hukum bedah mayat, sebagaimana terlihat pada uraian berikut:

  • Imam Ahmad Bin Hambali

Seorang yang sedang hamil kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya tidak perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar bahwa janin itu masih hidup.

  • Imam Syafi'i

Jika seorang hamil, kemudian dia meninggal dunia, dan ternyata janinnya masih hidup, maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya.

· Imam Malik

Seorang yang meninggal dunia, kemudian didalam perutnya ada barang yang berharga, maka mayat itu harus dibedah.

  • Imam Hanafi

Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin itu.


BAB III

KESIMPULAN


Hukum permasalahan cangkok jantung, ginjal, dan mata sesungguhnya diperbolehkan dalam Islam. Hanya saja asalkan tidak membahayakan bagi pendonor maupun bagi penerima. Karena ulama sepakat pada qaidah fiqh yang artinya berbunyi “Kesulitan (yang dialami manusia), boleh diupayakan untuk mendapatkan kemudahan”.

Masalah transpusi darah boleh saja tanpa mengenal batas bahwa mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim dan sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70). Maka sudah seharusnya manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya.

Sedangkan masalah hukum bedah mayat dibolehkan untuk beberapa kepentingan, salah satunya yaitu untuk menyelamatkan janin yang masih hidup namun Ibu yang mengandungnya sudah meninggal maka janin tersebut harus diselamatkan.


DAFTAR PUSTAKA


Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. Fikih Kesehatan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Cet.ke-1. Agustus 2007

E:\semester_VI\link-2\Sejarah Transplantasi dan hukum donor jaringan tubuh menurut Islam « Manusia biasa.htm

Mahjuddin. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia. 2003

Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kotemporer. Jakarta: Gema Insani Press

Zuhdi, Masyfuq. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Gunung Agung. 1987



[1] Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah,t.t), “Kitab al- Khatim, hadis no.4232, vol.2, hal.92.

[2]Drs. H.Mahjuddin, M.pd.I, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, cet.ke-7, hal.140

[3]E:\semester_VI\link-2\Sejarah Transplantasi dan hukum donor jaringan tubuh menurut islam « Manusia biasa.htm

Tasawuf Falsafi ; Ibn Araby & Konsep Wahdatul Wujud

PENDAHULUAN


Ibn Arby adalah salah seorang tokoh tasawuf falsafi karena diketahui bahwa beliau adalah seorang yang telah memfilsafatkan pengalaman beragamanya atau spritualnya ke dalam suatu pandangan dunia tasawuf sebagaiman dalam konsepnya “Wihdatul wujud dan Tajally”.

Ajaran ini dapat dikatakan perluasan dari paham hulul yang di bawa oleh al-halaj. Wahdatul wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby menyatakan, bahwa alam ini diciptakan tuhan dari ‘ain wujud-Nya― esensi-Nya― sehingga setiap makhluk dalam segala jenisnya dan terutama manusia, tidak terlepas dari aspek khalaq (makhluk) dan aspek al-Haqq (Tuhan) yang terkadang ia sebut aspek lahir dan aspek bathin. Dalam hal ini aspek terpenting adalah aspek al-Haqq karena merupakan esensi dari segala yang ada, sedang aspek al-khalaq merupakan substansi atau sesuatu yang datang kemudian. Dengan demikian, sekalipun alam ini nampaknya aneka namun pada hakikatnya esensinya sama dengan al-Haqq secara trasedental, bukan imanensi.


PEMBAHASAN

A. Biografi Spiritual Ibn Araby

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali Bin Muhammad Muhyi Aldin Ibn Araby al-Thai al-Hatimi, lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H/27 Juli 1165 M di Mursia[1], Andalusia (Spayol) bagian tenggara, dan wafat di Damaskus dalam usia 78 tahun tanggal 22 Rabi al-tsani 638 H/ November 1240 M.

Ibn Araby berasal dari suku al-Thai, satu rumpun Arab al-Hatimi yang pada umumnya terdiri dari keluarga-keluarga shaleh. Ayahnya adalah seorang sufi yang mempunyai kebiasaan berkelana.

Pada usia delapan tahun, Ibn Araby sudah merantau ke Lisabon untuk menimba ilmu agama, kemudian ia pindah ke Sevilla dan menetap selama tiga puluh tahun. Ketika di Sevilla Ibn Araby menikahi seorang gadis bernama Mariam. Dari Sevilla ia sering berkunjung ke Kordova dengan tujuan utama menimba ilimu, kunjungan ini biasanya ia lanjutkan ke wilayah Tunisia dan Maroko.[2] Selama pada masa ini pula kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif mempercepat pembentukan Ibn Araby sebagai tokoh Sufis yang terpelajar dan dalam usia yang relatif muda. Dengan kecerdasan yang luar biasa dan wawasan spiritualnya yang luas menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisme dan filsafat dalam kesadaran metafisme Ibn Araby. Ibn Araby adalah seorang sufi sekaligus filosof, sehingga dapat mefilsafatkan pengalaman spiritualnya kedalam suatu pandangan dunia tasawuf sebagaimana dalam konsepnya “wahdahtul wujud”. Ibn Araby diberi gelar Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Syaikh terbesar).

Pada tahun 1201 M/ 598 H Ibn Araby meninggalkan Spanyol kemudian berangkat ke kawasan timur dengan tujuan utama untuk ibadah haji. Mekkah baginya adalah tempat meningkatkan kualitas kehidupan mistiknya. Di mekkah sekitar tiga tahun, Ibn Araby menggunakan waktunya lebih banyak untuk mempetajam ruhani dan menulis. Kunjungannya ke Ka’bah secara teratur untuk beribadah dan bermeditasi membuahkan pengalaman-pengalaman spiritual. Di tanah suci inilah Ibn Araby mendapat ilham untuk menulis karya fenomenal, yaitu al-Futuhat al-Makiyah, di samping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, Ibn Araby kembali mengembara ke berbagai kota di kawasan timur, pengembaraannya berakhir di kota Damaskus dan sekaligus sebagai tempat menetapnya sampai beliau wafat. Selama di Damaskus Ibn Araby mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis dan mengajar. Ibn Araby menyelesaikan kitab monumentalnya, al-Futuhat al-Makiyyah, dan menulis kitab lain yang terkenal; Fushush al-Hikam, di samping kitab-kitab yang lain. Ibn Araby dimakamkan di kaki gunung Qasiyun di bagian utara kota Damaskus.

Semasa hidupnya Ibn Araby dikenal sebagai seorang tokoh sufi dan filsafat agama yang produktif dalam karya-karyanya, yang berhasil mencapai perkembangan puncak tasawaufnya dengan merekonstruksikan pendekata tasawuf dengan filsafat dalam mengkaji masalah wujud, yang kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan utuh dalam ajaran wahdatul wujud.

Selain sebagai sufi, Ibn Araby sebagaimana telah dikenal sebagai penulis yang produktif dengan jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai ± 400 judul buku. Telah dibahas bahwa karya monumentalnya al-Futuhat al-Makiyah adalah sebuah karya ensiklopedis besar tentang tasawuf yang tediri atas 560 bab, di terbitkan oleh al- Haiat al- Mishriyyat al-Ammat li al-kitab, kairo, tahun 1392 H/1972 M, dalam empat jilid buku besar. Begirtu pula Fushush al-Hikam, karya ini merupakan kitab yang relative pendek tetapi paling banyka dikkaji dan diberi syarah, karena paling sulit dipahami diantara karyanya sehingga menjadi yang paling berpengaruh dan paling masyhur, karya ini menyajikan rumusan-rumusan final dari pendirian tasawufnya tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushush al-Hikam tersebut.[3] Di samping kedua kitab tersebut, karya-karya yang lain diantaranya Turjuman al-Asywaq, Dzakhair al-Alaq, al-Diwan al-Akbar, Anqa Mughrib dan lain-lain.

B. Konsep wahdatul wujud dan tajjaly Ibn Araby

Doktrin wahdat al-Wujud biasanya dihubungkan dengan Ibn Araby karena tokoh ini dianggap sebagai pendirinya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika selama ini anggapan yang lebih umum berlaku mengenai istilah ini berasal dari atau diciptakan oleh IbnAraby. Beliau sendiri tidak pernah menggunakan istilah wahdat al-Wujud, akan tetapi beliau dianggap sebagai pendiri doktrin wahdat al-Wujud karena ajaran-ajarannya mengandung ide tersebut.[4] Orang-orang di Barat sering memberi lebel pada paham ini sama dengan lebel “Panteisme”.

Paham ini sebagai perluasan dari konsepsi (paham) al-hulul yang dibawa oleh al-Halaj adalah karena nasut yang ada dalam hulul ia ganti dengan al-khalq (makhluk), sedangkan lahut menjadi al-Haqq (Tuhan).[5] Aspek al-Khalq memiliki sifat kemakhlukan, sedangkan aspek luar memiliki sifat ke-Tuhanan (Lahut). Tiap-tiap yang bergerak tidak terlepas dari kedua aspek itu yaitu sifat ke-Tuhanan dan sifat kemanusiaan. Tetapi aspek terpenting adalah aspek bathin atau aspek al-Haqq dan aspek ini merupakan esensi dari tiap-tiap wujud.

Adapun idenya mengenai wahdat al-Wujud adalah bahwa “semua wujud satu dalam relitas, tiada suatupun bersama dengannya”. Wujud bukan lain dari al-Haq karena tiada sesuatu pun dalam wujud selain Dia. Tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali al-Haqq, karena wujud adalah al-Haqq dan Dia adalah satu.[6]

Ibn Araby tidak hanya menekankan mengenai ke-Esaan wujud, tetapi juga menekankan keanekaan realitas mengenai realitas yang membedakan antara realitas mutlak (Ultimate reality) dan realitas terbatas. Anamun, secara esensial keduanya merupkan satu kesatuan.

Tuhan dalam pandangan Ibn Araby tidak hanya dipandang sebagai Tuhan yang satu, melainkan juga merupakan hakikat dari segala yang ada dan sumber dari segala yang maujud. Segala yang ada ini bersifat baru (hadits) binasa (fana) dan semuanya akan kembali kepada-Nya, tidak ada wujud yang abadi kecuali ‘ain (esensi) dari segala yang ada hal itu dinyatakan oleh IbnAraby dalam satu ungkapan :

ﺴﺒﺤﺎﻦ ﻤﻦ ﺨﻠﻖ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻮﻫﻮ ﻋﻴﻨﻬﺎ

“Maha suci Allah yang telah menjadikan segala sesuatu sedangkan Dia adalah hakikatnya”

Menurut Ibn Araby alam ini diciptakan Allah dari ‘ain wujudnya sehingga apabila Tuhan ingin melihat diri-Nya maka Tuhan cukup melihat alam ini. Di sinilah timbul paham kesatuan wujud (wahdat al-Wujud) dengan pengertian, bahwa alam yang nampak dengan indera yang penuh variasi ini, sebenarnya adalah satu.[7] Ibn Araby berkata lewat syair dalam al-Futuhat vol I hal. 604 yang berbunyi :

ﻴﺎ ﺨﻠﻖﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻔﻰ ﻨﻔﺴﻪ - ﺍﻨﺖ ﻠﻤﺎ ﺘﺨﻠﻗﻪ ﺠﺎﻤﻊ - ﺘﺨﻠﻖ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻨﺘﻫﻰ ﻜﻮﻨﻪ - ﻔﻴﻚ ﻔﺄﻨﺖ ﺍﻠﻀﻴﻖ ﺍﻠﻮﺍﺴﻊ

Wahai pencipta segala sesuatu dalam diri-Mu, pada-Mu terhimpun segala yang Engkau jadikan, Engkau ciptakan apa yang ada dengan yang tak terbatas dalam diri-Mu sebab Engkau adalah yang unik tetapi meliputi seluruhnya.

Pada bagian lain dari kitabnya itu, Ibn Araby mengatakan bahwa wujud alam ini adalah ‘ain wujud Allah. Allah itu adalah hakikat alam. Tidak ada di sana perbedaan di antara wujud yang qadim yang di sebut Khaliq dan wujud yang baru yang disebut makhluk.[8] Perbedaan itu hanya rupa dan ragam, sedangkan esensi dan hakikatnya sama. Pada bagian syairnya yang lain, Ibn Arby mengatakan,

ﺍﻠﻌﺒﺪ ﺮﺐ ﻮﺮﺐ ﻋﺑﺪ ﻴﺎ ﻠﻴﺖ ﺸﺮﻯ ﻤﻦ ﺍﻠﻤﻜﻠﻑ ﺍﻦ ﻗﻠﺖ ﻋﺒﺪ ﻔﺫﺍﻚ ﺭﺐ ﺍﻮﻗﻠﺖ ﺭﺐ ﺍﻨﻰ ﻴﻜﻠﻑ

Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba, Demi syu’urku, siapakah yang mukallaf, Kalau engkau katakan Hamba padahal dia Tuhan Atau engkau kata Tuhan, yang mana yang diperintah?

Dalam pandanga Ibn Arby, tidak ada perbedaan antara Yang Satu dengan yang aneka atau antara Khaliq dan makhluk. Kalau pandanan mata nampak ada perbedaan, hal itu hanyalah seseorang itu tidak mampu melihat dengan mata hatinya sehingga ia tidak dapat melihat hakikat. Kemampuan memandang tembus apa yang ada di balik benda lahiriah, hanya dimiliki oleh orang ‘arif dan mereka itu selalu berucap: “Maha Suci Allah yang menciptakan segala sesuatu dari dzatnya, sehingga apabila kami melihat-Nya berarti kami melihat diri kami, dan apabila kami melihat diri kami maka kami juga melihat Dirinya”.

Konsep lain yang erat kaitannya dengan wahdat al-Wujud adalah konsep tajally Ibn Araby. Sedangkan kata tajally merupakan istilah tasawuf yang berarti penampakan diri Tuhan yang bersifat absolute dalam wujud alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla yang artinya “menyatakan diri”.

Konsep tajally beranjak dari pandangan bahwa Allah dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, karena itu dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian alam ini merupakan cermin bagi Allah Allah SWT ketika Allah ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan yakni dengan merujuk pada hadits Qudsi Kanzun makhfiyyah (Harta karun yang tersembunyi), bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui maka Ia pun menapakkan diri-Nya dalam bentuk tajally. Ini merupakan arti dan rahasia penciptaan alam dalam tasawuf falsafi Ibn Arby.[9]

Menurut Ibn Araby zat Tuhan yang Mujarrad dan transcendental itu bertajally dalam empat martabat yaitu

§ Martabat Ahadiyah

§ Martabat Wahdah

§ Martabat Wahidiyah

§ Martabat Ta’ayun ruhi dan Ta’ayun jasadi

Menurut Ibn Araby bahwa Tuhan sebagai penghulu dan manusia sebagai hamba. Tuhan kaya dalam segala hal, sedangkan manusia ada kekurangannya melalui bahasanya sendiri Ibn Araby mengatakan:[10]


“kalau bukan karena-Nya atau karena “kita” niscaya tidak akan terjadi segala yang ada, saya menyembah yang al-Haqq dan “saya”. Allah adalah penghulu kita dan seesensi dengan-Nya, dan ketahuilah bahwa manusia adalah seesensi dengan-Nya.”[11]

Untuk dapat mengetahui perbedaan dan persamaan antara al-Haqq dan al-Khalq tidak dapat dilihat dengan mata dan atau diserap oleh rasio, tetapi harus melalui al-Hubb al-Ilahi yang dikembangkan melalui amal, taqwa dan suluk sehingga mencapai ma’rifat melalui kasyf. Kata Ibn Araby:


Kemampuan agar dapat mengetahui dan merasakan tajallinya Tuhan karena Ibn Araby telah sampai pada tingkat Kasyf. Kemampuan ini menurut Ibn Araby tidak memerlukan bimbingan orang lain dapat langsung dari Tuhan seperti halnya para Nabi dan Rasul yang mendapat ilmu itu melalui malaikat, tetapi sufi dan aulia memperolehnya karena kasyf al-Hijab.

C. Ajaran Yang Kompetebel Dengan Kekinian

Dengan demikian bahwa dalam pemikiran Ibn Araby dalam konsep Wahdat Al-Wujud dan tajalli kita dapat mengambil ajaran yang sesuai yaitu logika penyatuan wujud (wahdat al-wujud) dan penampakkan diri (tajalli), menurut Ibn Araby, akan menghilangkan esensi agama apapun yang diturunkan, dan akan menghilangkan tanda-tanda ke-Tuhanan yang diketahui oleh orang awam. Namun, bukan hal seperti itu yang sebenarnya Ibn Araby bangun. Akan tetapi sebenarnya ajaran yang paling tepat untuk kita ambil sesuai dengan kekinian adalah agar kita dapat menganal Allah lebih dalam lagi dengan melihat segala ciptaan Allah yang ada di ala mini dengan penglihatan dalam renungan dan menyadari betapa Maha Besar Allah yang telah mencipykan segala sesuatunya dengan sempurna, karena itu melalui alam manusia dapat mengenal Allah sebagai Sang Pencipta.

Oleh karena itu pula, apabila seseorang ingin mengenal Tuhannya mulailah dengan mengenal dirinya sendiri sebab diri manusia dan alam adalah cara bagaimana kita dapat mengenal Allah Swt.




KESIMPULAN

Ibn Arby adalah salah satu tokoh tasawuf falsafi yang telah mencapai puncak perkembangan tasawufnya pada konsep “Wahdatul Wujud dan Tajally” yang merupakan sebuah konsep kesatuan wujud antara makhluk dan al-Haqq. Dimana tiap-tiap yang berwujud terdapat sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan.

Ajaran yang terpenting dalam pemikiran Ibn Arby yang terpenting adalah aspek al-Haqq yang merupakan esensi dari tiap-tiap wujud.

Untuk dapat menyelami tajally Tuhan dalam alam ini seorang mesti memiliki kemampuan untuk itu dan semua itu diperoleh dari Allah tanpa melalui perantara. Proses penampakan diri Tuhan diuraikan oleh Ibn Arby dalam empat martabat yaitu : Martabat Ahadiyah, Martabat Wahdah, Martabat Wahidiyah, dan Martabat Ta’ayun ruhi dan Ta’ayun jasadi.


[1] Ibn Araby, Futuhat al-Makiyah: Vol I, al-Arabiyah, Kairo, 1979, Hal:199

[2] Ibn Araby, Futuhat al-Makiyyah…., Hal.200

[3] Kautsar Azhari, Ibn al-Araby: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995, Hal 25.

[4] Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Araby: Dalam Perdebatan Wahdat Al-Wujud, Hal. 34-35

[5] A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. II, Hal. 183.

[6] Kautsar Azhari Noer,….. Hal.35

[7] Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme ,,Hal, 184

[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm 254

[9] M. Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syekh Hamzah Fansuri, Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004, hal.96

[10] Rivay Siregar, hal, 190

[11] Ibn Araby, Fushush al-Hikam, Hal, 19