Dapatkan $ Gratis di sini!

Minggu, 10 Mei 2009

Metodologi Pendidikan Agama


Pembahasan Pertama
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP METODELOGI PENGAJARAN AGAMA
Ø Pengertian
Dalam metodologi pangajaran agama (Islam) terdapat dua pengertian yang digabungkan menjadi satu. Yakni pengertian metodologi dan pengertian pengajaran agama (Islam).
Metodelogi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, “Metodos” yang berarti cara atau jalan, dan “Logos” yang berarti ilmu.
Secara ringkas metodologi adalah ilmu (pembahasan) tentang metode atau metode-metode.
Sementara itu, pengajaran merupakan usaha mengantarkan materi (bahan ajar) atau keterampilan kepada pihak yang membutuhkan.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan metodologi pengajaran agama (Islam) yaitu bahwa metodologi pengajaran agama (Islam) adalah ilmu yang membahas tentang cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pengajaran agama (Islam).
Ø Ruang Lingkup Metodologi Pengajaran Pendidikan Islam
Ruang lingkup metodologi pengajaran agama (Islam) pada dasarnya mengacu kapada lima hal seperti dibawah ini :
  1. Perencanaan Pengajaran
Perencanaan pengajaran pada hakikatnya merupakan kegiatan mengorganisasi dan menetapkan komponen-komponen tersebut, yaitu tujuan pengajaran, bahan pelajaran, metode dan alat, serta penilaian.
  1. Bahan pengajaran
Bahan pembelajaran adalah isi yang diberikan kepada pelajar pada saat berlangsungnya proses belajar-mengajar.
  1. Strategi pengajaran
Strategi pengajaran adalah usaha guru dalam menggunakan beberapa variabel pengajaran (tujuan, bahan, metode dan alat, serta evaluasi) sehingga dapat mempengaruhi para pelajar dalam mencapai tujuan belajar. Dengan demikian, strategi mengajar merupakan tindakan nyata guru di dalam kelas ketika melaksanakan pengajaran.
  1. Media pengajaran
Alat atau sarana yang dapat membantu proses belajar mengajar atau menetapkan alat penilaian yang paling tepat untuk menilai sasaran (anak didik) tersebut.
  1. Evaluasi pengajaran
Pembahasan Kedua
Fase-fase Tingkat Pendidikan Agama dan Program Pengajaran Agama di Tingkat Dasar Sampai Tingkat Lanjutan Atas
1. Pendidikan Agama untuk Anak-anak
Pendidikan agama yang akan diberikan pada anak-anak haruslah sesuai dengan keadaan mereka itu, sesuai dengan akal pikirannya, sesuai dengan sifat-sifatnya dan lain sebagainya. Berikanlah pendidikan agama dalam bidang-bidang praktis, berupa amal perbuatan dan akhlaq yang mulia dan kelakuan yang baik. Sekali-kali janganlah diberikan dalil-dalil akal dan teori-teori yang dalam yang sekiranya mereka belum dapat memahami.
2. Pendidikan Agama untuk Pemuda-pemudi
Agama pemuda-pemudi (remaja) adalah agama yang hidup, penuh kegiatan, aktivitas, cita-cita dan kesadaran. Ibadah yang dikerjakan pemuda dengan gambaran yang hidup, kemauan yang keras dan kesadaran yang mendalam. Dan perlu diingat bahwa kewajiban yang pertama bagi lembaga-lembaga pendidikan ialah berusaha memperkuat perasaan keagamaan dalam jiwa pelajar remaja, serta mendidik mereka dengan pendidikan agama yang betul agar tertanam kepercayaan agama dalam hati mereka dan tertuang dalam sikap akhlak di kehidupan sehari-hari.
3. Pendidikan Agama untuk Orang Dewasa
Agama orang dewasa adalah logika dan peraturan. Pendidikan agama untuk orang dewasa haruslah sesuai dengan keadaannya, sesuai dengan akal pikirannya atau logikanya.
Pengajaran agama di sekolah dasar yang terbaik dan mudah dilaksanakan adalah melalui semua guru dan semua bidang studi. Artinya guru yang mengajar di sekolah dasar itu hendaknya dapat memberikan contoh teladan yang baik bagi anak didik.
Tujuan pendidikan agama Islam untuk sekolah dasar yaitu memberikan bakal dasar serta pengamalan agama Islam. Dalam penjabarannya di arahkan kepada pokok-pokok keimanan, ibadah, akhlak,dan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Pengajaran agama di sekolah menengah pertama hendaknya diberikan pengetahuan agama secara lebih luas dan mendalam, serta mencari hikmah dan manfaat, pemahaman, pengalaman, dan penghayatan agama dalam kehidupan.
Pendidikan agama di sekolah menengah pertama bertujuan untuk membekali murid dengan berbagai pengetahuan agama sesuai dengan perkembangannya, baik tentang dasar-dasar atau hikmah-hikmah hukum Islam, maupun tentang bacaan dan hafalan Al-Qur’an.
Pembahasan ketiga
Pengenalan Metode Ceramah, Tanya Jawab, Diskusi, Problem Solving, Demonstrasi, Sosiodrama Pada Pengajaran Agama
1. Metode Ceramah
Adalah salah satu cara menyampaikan sebuah materi berupa pengertian-pengertian atau informasi-informasi kepada anak didik atau khalayak ramai dengan jalan menerangkan penuturan secara lisan.
2. Metode Tanya Jawab
Ialah cara penyampaian pelajaran atau materi dengan jalan guru mengajukan pertanyaan dan murid menjawab.
3. Metode Diskusi
Adalah suatu cara penyampaian bahan pelajaran dengan jalan mendiskusikannya, dengan tujuan dapat menimbulkan pengertian serta perubahan tingkah laku.
4. Metode Problem Solving
Adalah salah satu cara dalam pengajaran dengan jalan melatih anak-anak untuk menghadapi masalah dari yang sederhana sampai yang paling rumit agar mampu memecahkan masalah tersebut tanpa bantuan orang lain.
5. Metode Demonstrasi
Adalah salah satu cara mengajar dengan jalan seorang guru atau anak didik memperlihatkan bagaimana suatu proses atau suatu cara untuk melakukan sesuatu agar lebih mudah dipahami dibandingkan dengan ucapan.
6. Metode Sosiodrama
Ialah salah satu bentuk cara mengajar dengan memerankan cara maupun tingkah laku atau menggambarkan karakteristik tokoh di dalam hubungan sosial.
Pembahasan Keempat
Pengenalan Metode Latihan/Drill, Imla, Resitasi, Kerja Kelompok, Proyek(unit), Penemuan Pada Pengajaran Agama
  • 1. Metode latihan/drill
    Adalah suatu cara dalam pengajaran dengan jalan melatih anak didik terhadap bahan pelajaran yang sudah diberikan.
    2. Metode Imla
    Adalah salah satu cara mengajar dimana siswa didalam kelas diuji kemampuannya untuk menangkap dan menerima dengan baik dari segi tulisan atau ejaan dimana dengan tujuan untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan memperoleh ketangkasan, ketepatan, dan keterampilan siswa.
    3. Metode Resitasi
    Ialah cara pemberian tugas pelajaran diluar jam pelajaran.
    4. Metode Kerja Kelompok
    Ialah guru membentuk kelompok dari kumpulan beberapa siswa yang di dalalamnya terdapat hubungan timbal balik dan saling percaya.
    5. Metode Proyek
    Ialah suatu cara mengajar dimana bahan pelajaran diorganisir sedemikian rupa, sehingga merupakan suatu keseluruhan/kesatuan bulat yang bermakna dan mengaduk suatu pokok permasalahan.
    6. Metode Penemuan
    Disebut juga sebagai metode inkuiri. Yaitu salah satu cara guru menyuguhkan suatu peristiwa kepada siswa yang kemudian menimbulkan teka-teki, dan siswa termotivasi untuk mencari jawaban teka-teki permasalahan tersebut
Pembahasan ke lima.
Pendekatan-pendekatan Dalam Teori Pendidikan Agama Islam
  • Pendekatan adalah cara atau strategi dalam mengajar untuk menunjang keefektifan dan keefesienan dalam pengajaran dan tidak terlepas dari metode apa yang digunakan.
    Ada beberapa pendekatan dalam pendidikan Islam.
  • 1. Pendekatan Filosofis
    Studi proses tentang kependidikan yang didasari dengan nilai-nilai ajaran Islam menurut konsep filosofis yang bersumber al-Qur'an dan hadits.
    2. Pendekatan Induksi-Deduksi
    Pendekatan induksi yaitu suatu strategi yang penganalisaannya secara ilmiah dan penentuan tentang kaidah umum berdasarkan kaidah-kaidah khusus.
    Sedangkan pendekatan deduksi adalah kebalikan dari pendekatan induksi.
    3. Pedekatan Sosio-kultural
    Adalah pendekatan yang bertujuan membentuk sifat kebersamaan siswa dalam lingkungannya pada aspek tingkah laku.
    4. Pendekatan Pengalaman
    Yaitu pemberian pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam penanaman nilai-nilai keagamaan.
    5. Pedekatan Pembiasaan
    Adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis tanpa direncanakan dan dibiasakan agar diamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
6. Pendekatan Emosional
Ialah usaha untuk menimbulkan atau memancing perasaan dan emosi siswa dalam meyakini ajaran Islam serta dapat merasakan baik dan buruk.
7. Pendekatan Rasional
Suatu pendekatan yang mempergunakan rasio akal dalam memahami dan menerima kebesaran dan kekuasaan Allah swt.
8. Pendekatan Fungsional
Adalah usaha memberikan materi agama dengan menekankan kepada segi manfaatnya untuk siswa dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya.
9. Pendekatan Keteladanan
Adalah memperlihatkan keteladanan, baik yang berlangsungsung melalui penciptaan, kondisi pergaulan, pelaku pendidikan dan tenaga kependidikan lain yang mencerminkan akhlaq terpuji maupun yang tidak langsung melalui suguhan berupa kisah-kisah keteladanan.
10. Pendekatan Terpadu
Adalah pendekatan yang dilakukan dengan memadukan secara serentak beberapa pendekatan.
Pembahasan Keenam
CBSA dan Pendekatan Keterampilan Proses Dalam Pendidikan Agama
CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa mendapat pengalaman belajar secara maksimal, dalam seluruh ranah.
Prinsip pengaktifan siswa dalam belajar:prinsip motivasi, latar atau konteks, keterarahan kepada titik pusat atau fokus tertentu, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, perbedaan perorangan, menemukan, dan pemecahan masalah.
Keterampilan proses adalah salah satu strategi mengajar dengan cara belajar siswa dalam memperoleh, mengelola, menggunakan, menilai dan mengkomunikasikan hasilnya.
Hubungan antara keduanya: CBSA sebagai suatu strategi belajar mengajar dengan mengerahkan potensi yang ada pada diri siswa dengan melihat, menghitung, mengukur, menilai, dan lain-lain. Dan mengukurnya dengan pendekatan keterampilan proses yaitu pendekatan yang merangsang siswa agar mereka aktif belajar sehingga menimbulkan keterampilan memproses ilmu.
Kelebihan CBSA
Ø Terlatih mencari sendiri
Ø Temuan yang mereka temukan ingat seumur hidup
Kekurangan CBSA
Ø Butuh waktu banyak
Ø Dapat hambatan dari guru yang malas dan segala sesuatu diuangkan

Sumber Hukum


Sumber Hukum pada Periode Sahabat
1. al-Qur’an
2. Sunnah
3. Ijtihad sahabat
Apabila terjadi suatu peristiwa yang baru atau persengketaan, maka para ahli fatwa mencari ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an. Apabila mereka mendapatkan ketetapan hukumnya di dalam nas al-Qur’an itu, maka mereka menerapkan hukum tersebut. Akan tetapi, apabila mereka tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an, maka mereka mencari keterangan dalam sunnah. Dan kalau keterangan tentang ketetapan hukumnya terdapat dalam sunnah, maka mereka melaksanakan hukum itu.
Selanjutnya kalau mereka tidak mendapatkan keterangan tentang ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah, maka mereka menempuh langkah dengan kekuatan ijtihad untuk menetapkan hukumnya dengan cara menganalogikan terhadap peristiwa yang baru terjadi itu dengan peristiwa yang sudah ada ketetapan hukumnya atau dengan sesuatu yang dikehendaki oleh jiwa dan semangat tasyri’ Islam serta berdasar pada pertimbangan kemaslahatan umat manusia.
Ø Al-Qur’an
Pada masa Rasulullah saw.al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu naskah sebagaimana sekarang ini. Setelah khalifah Abu bakar memimpin pemerintahan dan terjadi perang Yamamah[1] yang menewaskan banyak para qurra, kemudian Umar mengusulkan padanya untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf lantaran khawatir hilang dengan meninggalnya para qurra tersebut. Setelah itu Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit agar mengumpulkan al-Qur’an, maka kemudian Zaid bin Tsabit pun melaksanakannya.
Kemudian al-Qur’an yang telah dibukukan dalam satu mushaf itu disimpan di rumah Abu Bakar sampai ia meninggal dunia. Kemudian di rumah Umar sampai ia meninggal dunia, dan setelah itu di rumah Hafsah putri Umar.
Al-qur’an adalah rujukan pertama bagi para mufti (Ahli Fatwa). Apabila terjadi suatu masalah, mereka cepat-cepat mencari hukumnya dalam al-Qur’an yang merupakan sumber syariat. Para sahabat adalah orang-orang yang lebih mampu memahami al-Qur’an karena diturunkan dengan bahasa mereka, dan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya. Namun, dengan demikian maka para sahabat tidaklah sama dalam memahaminya sesuai dengan tingkat pemahaman yang dimilikinya. Pengetahuan mereka dalam ilmu kebahasaan berbeda-beda. Dari sini dapat diketahui bahwa sahabat dalam derajat keilmuan tidaklah sama.
Pengaruh tasyri pada kodifikasi ini adalah bahwa pengutipan ayat-ayat yang berdimensi hukum dalam al-Qur’an adalah mutawattir baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Artinya semua ayat al-Qur’an itu berstatus qath’iyah al-wurud (pasti benar eksistensinya). Dari segi ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
Ø Sunnah
Para sahabat apabila tidak menemukan hukum suatu kasus atau peristiwa yang baru terjadi di dalam al-Qur’an, mereka beralih kepada sunnah dalam mencari hukum tersebut. Ketika itu sunnah belum dibukukan, tapi hanya tersimpan dalam dada para sahabat.
Tidak diragukan lagi bahwa sunnah apabila shahih dan valid adalah datang dari Rasulullah saw.ia harus diambil dan diamalkan sesuai dengan peranannya. Tetapi hadis-hadis yang diperselisihkan mengenai cara penetapannya, beragam sanadnya, diriwayatkan sekelompok orang banyak atau diriwayatkan oleh sedikit orang saja, diriwayatkan oleh orang yang terpercaya atau perawi yang cacat, adalah memerlukan pembagian hadis-hadis tersebut kepada: shahih, hasan, dhaif, dan pembagiannya kepada mutawatir dan ahad. Karenanya para sahabat berselisih dalam penerimaannya.
Abu Bakar dan Umar tidak menerima hadis-hadis kecuali yang disaksikan dua orang bahwa mereka berdua mendengarnya dari Rasulullah. Lain halnya dengan Ali bin Abu Thalib, ia meminta sumpah dari orang yang meriwayatkan hadis kecuali terhadap Abu Bakar.
Kadangkala seorang sahabat menolak hadis dan tidak mengamalkannya, baik itu karena menganggap lemah kepercayaan si perawi, karena ia mengetahui yang menasakhnya atau karena pertentangannya dengan hadis yang lebih kuat menurut pendapatnya.
Ø Ijtihad
Dalam menghadapi perkembangan kehidupan, dengan berbagai persoalan yang memerlukan penetapan hukum, namun tidak terdapat dalam Al Quran dan Sunnah, para sahabat melakukan ijtihad. Ada beberapa sahabat yang menentukan langkah-langkah dalam berijtihad (Abu Bakar dan Umar). Pada periode ini ijtihad sahabat belum dibukukan.
Nilai fatwa mereka adalah sebagai pendapat individu yang kalau fatwanya benar, maka ia datangnya dari Allah. Sedang kalau salah, itu merupakan kesalahan sendiri. Oleh karena itu, tak seorang pun di antara mereka mengharuskan orang lain untuk mengikuti fatwanya. Seringkali Umar berbeda pendapat dengan Abu Bakar. Argumentasi mereka mengindikasikan atas adanya kebebasan dan indefedensi mereka dalam menari kemaslahatan dan mencegah kerusakan.
Mereka berijtihad dengan bermodalkan pada bakat kemampuan dan penguasaan tentang tasyri yang ada pada diri mereka. Mereka berijtihad dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum yang umum. Terkadang mereka juga menganalogikan sesuatu yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam nas kepada sesuatu yang telah ada ketetapan hukumnya dalam nas. Demikian juga mereka menetapkan hukum dengan pertimbangan kemaslahatan.
Pengaruh Tasyri’ yang Diwariskan Periode Sahabat
1. adanya interpretasi terhadap teks-teks yang berdimensi hukum dalam al-Qur’an dan sunnah. Para sahabat memberikan interpretasi terhadap teks-teks (ayat-ayat hokum dan hadis-hadis hukum) tersebut dalam rangka aktualisasinya pada kehidupan yang realitas. Dengan demikian, interpretasi para sahabat inilah yang kemudian menjadi rujukan atau acuan utama yang terpercaya dalam menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis yang berdimensi hukum, baik secara globalnya maupun dalam hal aktualitasnya dalam kehidupan secara riil. Dapat kita lihat dalam tafsir Ibnu Abbas (68 H/689 M) dan tafsir Muhammad Ibnu Jarir al-Thabariy (310 H/923 M).
2. adanya berbagai fatwa para sahabat mengenai suatu kejadian yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah. Mereka berijtihad menetapkan hukumnya dengan menggunakan metode istimbath al-ahkam. Dengan demikian pada awal periode kodifikasi hadis, sebagian tokoh hadis membukukan fatwa-fatwa sahabat dalam berbagai macam bab hukum bersama-sama dengan hadis Rasulullah saw. Berdalil dengan dasar fatwa-fatwa para sahabat ini masih menjadi gelanggang perdebatan di kalangan imam mujtahid, di antara mereka ada yang berani keluarkan dari fatwa-fatwa mereka, dan sebagian lainnya ada juga yang berani berbeda pendapat dengan mereka.
3. lahirnya partai politik yang berkaitan dengan persoalan khilafah dan khalifah yang kemudian sangat berpengaruh pada proses pembentukan hokum dalam Islam. Partai politik ini lahir setelah terbunuhnya khalifah Usman bin Affan (35 H/656 M) dan dilantiknya Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah (35 H/656 M). Dengan terpilihnya Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah mendapat tentangan keras dari Muawiyah bin Abi Sufyan (w.60 H/665 M) gubernur Syam. Pertentangan mereka berpuncak pada perang Shiffin. Perang Shiffin ini berakhir dengan diadakannya tahkim atau arbitrase. Konsekuensi dari perang tersebut melahirkan tiga kelompok dan golongan di tubuh umat Islam, yaitu Khawarij, Syiah dan ahl-Al-Sunnah wa al-Jama’ah yang kuantitasnya merupakan mayoritas umat Islam.
Para Mufti yang Populer dari Kalangan Sahabat
Di Madinah:
  1. Khulafaur Rasyidin (13 H-40 H/634 M-661 M)
  2. Zaid bin Tsabit (45 H/666 M)
  3. Ubay bin Ka’ab (21 H/642 M)
  4. Abdullah bin Umar (73 H/694 M)
  5. Aisyah (57 H/678 M)
Di Mekkah:
  1. Abdullah bin Abbas (68 H/689 M)
Di Kuffah
  1. Ali bin Abi Thalib (40 H/661 M)
  2. Abdullah bin Mas’ud (32 H/653 M)
Di Bashrah
  1. Anas bin Malik (93 H/714 M)
  2. Abu Musa al-Asy’ary (44 H/665 M)
Di Syam/Syiria
  1. Muadz bin Jabal (18 H/639 M)
  2. Ubbadah bin Shamit (34 H/655 M)
Di Mesir
  1. Abdullah bin Amr bin Ash (65 H/686 M)
Sahabat yang terkenal aktif dalam fatwanya berjumlah sekitar 130 orang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Namun, yang lebih populer di antara mereka adalah yang disebutkan nama-namanya di atas tadi.



[1]Perang Yamamah adalah perang antara kaum muslimin dengan Bani Hunaifah yang keluar dari Islam di bawah pimpinan Musailamah al-Kadzab